WARISAN
A.
PENDAHULUAN
Setelah kita mempelajari makalah
yang tekait dengan warisan dan hokum waeisan dalam pandangan islam, pemakalah
mencoba mengurai kembali apa itu warisan menurut pemakalah sendiri, sebagaimana
yang telah kita pelajari Syari’at Islam
menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya
ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan
kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari
seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan,
besar atau kecil.
Al-Qur'an Qs. An-nisa: 7-14 juga telah menguraiakan secara
detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak
seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan
nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek,
ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau .ontuk lebih
jelasnya dapat kita lihat pada bagian pembahasan dari makalah ini.
B.
PEMBAHASAN
a.
Definisi Waris
Secara bahasa kata waris berasal dari bahasa Arab Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar
(infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut
bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari
suatu kaum kepada kaum lain
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang
berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda.
Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah
saw.. Di antaranya Allah berfirman:
Artinya: dan berapa banyaknya (penduduk) negeri
yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya; Maka
Itulah tempat kediaman mereka yang tiada di diami (lagi) sesudah mereka,
kecuali sebahagian kecil. dan Kami adalah Pewaris(nya).
Selain itu kita dapati dalam hadits
Nabi saw.:Ulama adalah ahli waris para nabi'.
Makna
al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama warisan ialah berpindahnya
hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih
hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja
yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Dapat pemakalah simpulkan disimpulkan secara terminologi, mirats berarti warisan
harta kekayaan yang dibagi dari orang yang sudah meninggal dunia kepada ahli
warisnya. Mirats (waris) menurut syari’ah adalah sumber undang-undang sebagai pedoman
antara orang yang meninggal dunia dan ahli waris, dan apa saja yang berkaitan
dengan ahli waris tersebut.
Sedangkan Ahli
waris adalah orang yang berhak menerima harta warisan dari orang yang
meninggalkannya. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan menjadi ahli waris :
1.
Sebab kerabat ( hubungan
darah )
2.
Sebab pernikahan (suami/isteri)
3.
Sebab walak (menerima waris
dari orang yang telah dimerdekakan olehnya)
4.
Sebab Islam, yaitu harta waris
yang diserahkan kepada baitul maal untuk keperluan kaum muslimin, setelah tidak
adanya ahli waris tiga hal tersebut.
b.
Dasar Dan Sumber Hukum Kewarisan Islam
Dasar dan sumber utama dari hukum
islam, sebagai hukum agama (islam) adalah nas Al Qur’an dan sunnah Nabi SAW.
Ayat alqu’an yang mengatur kewariss Al qur’an itu adalah:
1. QS. AN-NISA’:7-14
Artinya
7. Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
8. Dan apabila sewaktu pembagian
itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta
itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada
mereka Perkataan yang baik.
9. Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang benar.
10. Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka).
11. Allah mensyari'atkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo
harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. Dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai
anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Penyantun.
13. (Hukum-hukum tersebut) itu
adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang
besar.
14. Dan Barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya
Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan
baginya siksa yang menghinakan.
2. QS AN-NISA’: 176
Artinya
Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
3. QS. AL-ANFAL:75
Artinya
Dan orang-orang yang beriman
sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu
Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)
c.
Rukun Waris Ada Tiga:
1.
Pewaris, yakni
orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisiharta
peninggalannya.
2.
Ahli waris,
yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3.
Harta warisan,
yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris,baik berupa
uang, tanah, dan sebagainya.
d.
Syarat Waris
Syarat-syarat waris ada tiga:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki
maupun secara hukum (misalnyadianggap telah meninggal).
Maksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki
ataupun secara hukum-- -ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui
oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan
hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya.
Contoh: Orang yang hilang yang keadaannya tidak
diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang
telah meninggal.
2. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu
pewaris meninggal dunia.
Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris
harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab
orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.
Contoh: Jika dua orang atau lebih dari golongan yang
berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang
berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di
antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih
hidup.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk
jumlah bagian masing-masing.
Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti,
misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui
dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli
waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan
membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan
bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan
apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka
masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena
sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak
mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
e.
Faktor-faktor yang
menyebabkan mendapat Warisan
Faktor-faktor yang menyebabkan
seseorang mendapatkan warisan ada tiga:
1. Nasab
Allah swt
berfirman dalam Qs. AL-Ahzab:
Artinya:
Nabi itu
(hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan
isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang yang mempunyai hubungan
darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah
daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu
berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu telah
tertulis di dalam kitab (Allah).
2.
Wala’ (budak yang
telah dimerdekakan kepada orang yang memerdekakannya):
Dari Ibnu Umar
dari Nabi saw, ia bersabda, “al-Walaa’ itu adalah kekerabatan seperti
kekerabatan senasab.”
3.
Nikah
Allah swt
menegaskan:
“Dan bagimu
(suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS an-Nisaa’: 12)
f.
Para Ahli Waris Dari Pihak Laki-Laki
Yang berhak menjadi ahli waris dari
kalangan lelaki:
1.
Anak laki-laki dan putranya dan seterusnya ke bawah.
Maksunya anak laki-laki dan putranya seterusnya kebawah adalah cucu
laki-laki dari yang meninggalkan warisan
Allah swt berfirman:
“Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan." (QS An Nisaa’:
11).
2. Ayah dan bapaknya dan
seterusnya ke atas.
Maksudnya disini, ayah dan bapakya seterusnya ke atas adalah kakek, orang
tua laki-laki dari ayah.
Allah swt berfirman:
"Dan untuk
dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan." (QS An Nisaa’:
11).
Dan datuk termasuk ayah, oleh karena
itu Nabi saw bersabda:
"Saya
adalah anak Abdul Muthallib."
3. Saudara dan puteranya dan
seterusnya ke bawah.
Maksunya yaitu saudara laki-laki dari yang meninggalkan harta warisan
berserta putranya, atau lebih di kenal keponakan
Allah swt berfirman:
"Dan
saudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak."(QS An Nisaa’: 176).
4. Paman dan anaknya serta
seterusnya.
Nabi saw bersabda:
"Serahkanlah
bagian-bagian itu kepada yang lebih berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki
yang lebih utama (dekat kepada mayyit)."(diriwayatkan Abu Dawud
5. Suami.
Allah swt berfirman:
"Dan
bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu." (QS An Nisaa’:
12).
6. Laki-laki yang memerdekakan
budak.
Sabda Nabi saw:
"Hak
ketuanan itu milik orang yang telah memerdekakannya."
Catatan :
Apabila dalam pembagian waris terdapat
bersama anak laki-laki berkumpul dengan anak perempuan sama-sama mengambil
harta pusaka itu,maka cara membaginya ialah laki-laki mendapat dua bagian dan
perempuan satu bagian.
g.
Perempuan-Perempuan Yang Mendapat
Warisan
Perempuan-perempuan yang berhak
menjadi ahli waris:
1. Anak perempuan dari anak
laki-laki dan seterusnya.
Firman-Nya:
"Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu."(QS An Nisaa’: 11).
2. Ibu dan nenek.
Firman-Nya:
"Dan
untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masing seperenam."(QS An
Nisaa’: 11).
3.
Saudara perempuan.
Allah swt
berfirman:
"Jika
seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkan itu."(QS An Nisaa’:
176).
4. Istri.
Allah swt
berfirman:
"Para
isteri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan."(QS An Nisaa’: 12).
5. Perempuan yang memerdekakan
budak.
Sabda Nabi saw:
"Hak
ketuanan itu menjadi hak milik orang yang memerdekakannya."(Ibnu Majah).
h.
Golongan Ahli Waris
Ahli waris terbagi dua golongan, yaitu
:
1.
DZU FARDLIN
Dzu fardlin adalah artinya yang
mempunyai pembagian tertentu. Pembagian tertentu menurut alquran ada enam:
a.
1/2 (setengah)
1.
Suami yang dapat
seperdua (dari harta peninggalan isteri), bila si mayyit tidak meninggalkan
anak.Allah swt berfirman: "Dan kamu dapat separuh dari apa yang
ditinggalkan isteri-isteri kamu, jika mereka tidak meninggalkan anak." (QS An Nisaa’: 12)
2.
Seorang anak
perempuan.
Firman-Nya: "Dan jika (anak perempuan itu
hanya) seorang, maka ia dapat separuh." (QS An Nisaa’: 11).
3. Cucu perempuan, karena ia menempati kedudukan anak perempuan
menurut ijma’ (kesepakatan) ulama’.Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama’
sepakat bahwa cucu laki-laki dan cucu perempuan menempati kedudukan anak
laki-laki dan anak perempuan. Cucu laki-laki sama dengan anak laki-laki, dan
cucu perempuan sama dengan anak perempuan, jika si mayyit tidak meninggalkan
anak kandung laki-laki." (Al Ijma’ hal.
79)
4. Saudara perempuan seibu dan sebapak dan saudara
perempuan sebapak.
Firman-Nya: "Jika seorang meninggal dunia, padahal ia tidak mempunyai anak, tanpa mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan dapat separuh dari harta yang ia tinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176)
Firman-Nya: "Jika seorang meninggal dunia, padahal ia tidak mempunyai anak, tanpa mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan dapat separuh dari harta yang ia tinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176)
b.
1/4 (seperempat)
1. Suami dapat seperempat, jika isteri yang wafat meninggalkan
anak.Firman-Nya: "Tetapi jika mereka meninggalkan anak, maka kamu dapat
seperempat dari harta yang mereka tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).
2. Isteri, jika suami tidak meninggalkan anak.Firman-Nya:
"Dan isteri-isteri kamu mendapatkan seperempat dari apa yang kamu
tinggalkan, jika kamu tidak meninggalkan anak." (QS An Nisaa’: 12).
c.
1/8 (seperdelapan)
Istri
dapat seperdelapan, jika suami meninggalkan anak.Firman-Nya: "Tetapi
jika kamu tinggalkan anak, maka isteri-isteri kamu dapat seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).
d.
1/3 (sepertiga)
1.
Ibu, jika ia tidak
mahjub (terhalang).Firman-Nya: "Tetapi jika si mayyit tidak mempunyai
anak, dan yang jadi ahli warisnya (hanya) ibu dan bapak, maka bagi ibunya
sepertiga." (QS An Nisaa’:
11).
2.
Dua saudara
seibu (saudara tiri) dan seterusnya.Firman-Nya: "Dan jika si mayyit
laki-laki atau perempuan tak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi
ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu),
maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu, dapat seperenam, tetapi jika saudara-saudara
itu lebih dari itu maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu." (QS An
Nisaa’: 12).
e.
2/3 (dua pertiga)
1. Dua anak perempuan dan cucu perempuan (dari anak
laki-laki).
Firman-Nya: "Tetapi jika anak-anak (yang jadi ahli waris) itu perempuan (dua orang) atau lebih dari dua orang, maka mereka daat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan (oleh bapaknya)." (QS An Nisaa’: 11).
Firman-Nya: "Tetapi jika anak-anak (yang jadi ahli waris) itu perempuan (dua orang) atau lebih dari dua orang, maka mereka daat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan (oleh bapaknya)." (QS An Nisaa’: 11).
2. Dua saudara perempuan seibu sebapak dan dua saudara
perempuan sebapak.
Firman-Nya: "Tetapi jika adalah (saudara perempuan) itu dua orang, maka mereka dapat dua pertiga dari harta yang ia tinggalkan." (QS An Nisaa’: 176).
Firman-Nya: "Tetapi jika adalah (saudara perempuan) itu dua orang, maka mereka dapat dua pertiga dari harta yang ia tinggalkan." (QS An Nisaa’: 176).
f.
1/6 (seperenam)
1.
Ibu dapat
seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak atau saudara lebih dari seorang.
Firman-Nya:
"Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya
(saja), maka ibunya dapat sepertiga; jika yang wafat itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 11).
2.
Nenek, bila si
mayyit tidak meningalkan ibu. Ibnul Mundzir menegaskan, "Para ulama’
sepakat bahwa nenek dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan
ibu." (Al Ijma’ hal. 84).
3.
Seorang saudara
seibu, baik laki-laki ataupun perempuan. Firman-Nya: "Dan jika si
mayyit laki-laki atau perempuan itu tidak meninggalkan anak dan tidak (pula)
bapak, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara
perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu dapat
seperenam." (QS An Nisaa’: 12).
4.
Cucu perempuan, jika
si mayyit meninggalkan seorang anak perempuan:
Dari Abu Qais, ia bertutur: Saya pernah mendengar Huzail bin Syarahbil berkata, "Abu Musa pernah ditanya perihal (bagian) seorang anak perempuan dan cucu perempuan serta saudara perempuan." Maka ia menjawab, "Anak perempuan dapat separuh dan saudara perempuan separuh (juga), dan temuilah Ibnu Mas’ud (dan tanyakan hal ini kepadanya) maka dia akan sependapat denganku!" Setelah ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan pernyataan Abu Musa disampaikan kepadanya, maka Ibnu Mas’ud menjawab, "Sungguh kalau begitu (yaitu kalau sependapat dengan pendapat Abu Musa) saya benar-benar sesat dan tidak termasuk orang-orang yang mendapat hidayah. Saya akan memutuskan dalam masalah tersebut dengan apa yang pernah diputuskan Nabi saw: yaitu anak perempuan dapat separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki dapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), dan sisanya untuk saudara perempuan.’ Kemudian kami datang menemui Abu Musa, lantas menyampaikan pernyataan Ibnu Mas’ud kepadanya, maka Abu Musa kemudian berkomentar, ”Janganlah kamu bertanya kepadaku selama orang yang berilmu ini berada di tengah-tengah kalian.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1863, Fathul Bari XII: 17 no: 6736, ’Aunul Ma’bud VIII: 97 no: 2873, Tirmidzi III: 285 no: 2173, namun dalam riwayat Abu Daud dan Tirmidzi tidak termaktub kalimat terakhir).
Dari Abu Qais, ia bertutur: Saya pernah mendengar Huzail bin Syarahbil berkata, "Abu Musa pernah ditanya perihal (bagian) seorang anak perempuan dan cucu perempuan serta saudara perempuan." Maka ia menjawab, "Anak perempuan dapat separuh dan saudara perempuan separuh (juga), dan temuilah Ibnu Mas’ud (dan tanyakan hal ini kepadanya) maka dia akan sependapat denganku!" Setelah ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan pernyataan Abu Musa disampaikan kepadanya, maka Ibnu Mas’ud menjawab, "Sungguh kalau begitu (yaitu kalau sependapat dengan pendapat Abu Musa) saya benar-benar sesat dan tidak termasuk orang-orang yang mendapat hidayah. Saya akan memutuskan dalam masalah tersebut dengan apa yang pernah diputuskan Nabi saw: yaitu anak perempuan dapat separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki dapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), dan sisanya untuk saudara perempuan.’ Kemudian kami datang menemui Abu Musa, lantas menyampaikan pernyataan Ibnu Mas’ud kepadanya, maka Abu Musa kemudian berkomentar, ”Janganlah kamu bertanya kepadaku selama orang yang berilmu ini berada di tengah-tengah kalian.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1863, Fathul Bari XII: 17 no: 6736, ’Aunul Ma’bud VIII: 97 no: 2873, Tirmidzi III: 285 no: 2173, namun dalam riwayat Abu Daud dan Tirmidzi tidak termaktub kalimat terakhir).
5.
Saudara perempuan
sebapak, jika si mayat meninggalkan seorang saudara perempuan seibu sebapak
sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), karena dikiaskan kepada cucu perempuan,
bila si mayyit meninggalkan anak perempuan.
6.
Bapak dapat
seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak. Firman-Nya: "Dan bagi dua ibu
bapaknya; buat tiap-tiap seorang dari mereka seperenam dari harta yang
ditinggalkan (oleh anaknya), jika (anak itu) mempunyai anak." (QS An
Nisaa’: 11).
7.
Datuk (kakek)
dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan bapak. Dalam hal ini Ibnul
Mundzir menyatakan, "Para ulama’ sepakat bahwa kedudukan datuk sama dengan
kedudukan ayah." (Al Ijma’ hal. 84).
Ahli waris yang mendapat bagian salah
satu dari enam macam bagian tersebut, dinamakan ahli waris dzu fardlin.
2. ASHABAH
Menurut bahasa,
kata ’ashabah adalah bentuk jama’ dari kata ’aashib, seperti kata
thalabah adalah bentuk jama’ dari kata thaalib, (kata ’ashabah)
yang berarti anak-anak laki-laki seorang dan kerabatnya dari ayahnya.
Sedang yang dimaksud dalam kajian faraidh di sini ialah orang-orang yang
mendapat alokasi sisa dari harta warisan setelah ashabul furudh
(orang-orang yang berhak mendapat bagian) mengambil bagiannya masing-masing.
Jika ternyata harta warisan itu tidak tersisa sedikitpun, maka orang-orang yang
terkategori ’ashabah itu tidak mendapat bagian sedikitpun, kecuali yang
menjadi ’ashabah itu adalah anak laki-laki, maka sama sekali ia tidak
pernah terhalang. (Fiqh Sunnah III: 437).
Segenap orang yang termasuk ’ashabah berhak juga mendapatkan harta
warisan seluruhnya, bila tidak didapati seorangpun dari ashabul furudh.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda, ”Serahkanlah bagian-bagian
itu kepada yang berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki yang lebih utama
(lebih dekat kepada si mayyit).”
Allah swt berfirman:
"Dan saudara laki-laki itu menjadi ahli waris pusaka saudara
perempuannya, jika saudara perempuan tersebut tidak mempunyai anak
(laki-laki)."(QS An Nisaa’: 176).
Jadi, seluruh harta warisan harus diserahkan kepada saudara laki-laki,
ketika ia sendirian, dan kiaskanlah seluruh ’ashabah yang lain
kepadanya.
Klasifikasi 'Ashaba.’ terbagi dua, yaitu:
1.
’Ashabah sababiyah
ialah’ashabahyang terjadi karena telah
memerdekakan budak. Nabi saw bersabda:
”Hak ketuanan itu milik bagi orang memerdekakannya.”
Sabda Beliau saw lagi:
”Hak ketuanan itu adalah daging seperti daging senasab.”
Orang laki-laki atau perempuan yang memerdekakan budak tidak boleh menjadi
ahli waris, kecuali apabila yang bekas budak itu tidak meninggalkan orang yang
termasuk ’ashabah nasabiyah:
Dari Abdullah bin Syaddad dari puteri Hamzah, ia berkata, ”Bekas budakku
telah meninggal dunia dan ia meninggalkan seorang puteri, maka Rasulullah saw
membagi harta peninggalannya kepada kami dan kepada puterinya, yaitu Beliau
menetapkan separuh untukku dan separuhnya (lagi) untuk dia.” (Hasan: Shahih
Ibnu Majah).
2.
‘Ashabah nasabiyah
Ada tiga kelompok:
a.
'Ashabah binafsih,
Orang-orang yang menjadi ‘ashabah dengan
sendirinya: Mereka adalah orang-orang laki-laki yang menjadi ahli waris selain
suami dan anak dari pihak ibu.
b.
‘Ashabah bighairih,
Orang-orang yang jadi ‘ashabah disebabkan ada orang lain: Mereka
adalah anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan seibu sebapak, dan
saudara perempuan sebapak. Jadi, masing-masing dari mereka itu kalau ada saudara laki-lakinya menjadi
’ashabah mendapat separuh dari harta warisan.
Firman-Nya:
"Dan jika mereka (yang jadi ahli waris) itu
saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagi saudara laki-laki itu bagian
dua saudara perempuan."(QS An Nisaa’: 176).
c. 'Ashabah ma’aghairih.
Orang-orang yang jadi ‘ashabah bersama orang
lain: Mereka adalah saudara-saudara perempuan bersama anak-anak perempuan;
berdasarkan hadits:
Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata, “Dan sisanya untuk saudara perempuan.”
3.
Dzawil Arham
Ahli waris Dzawil Arham adalah ahli
waris perempuan atau ahli waris yang hubungannya dengan muwarits diantarkan
oleh ahli waris yang berjenis kelamin perempuan. Mereka adalah ahlli waris
kerabat yang bukan termasuk ashabul furudl dan ashabah.
Macam-Macam
Ahli Waris Dilihat Dari Perolehan Bagian Warisan:
a. Ahli
Waris Dzawil Furudl
Ahli waris dzawil furudl adalah ahli
waris yang bagian warisannya telah ditetapkan di dalam Alquran, hadits atau
ijma’, mereka berjumlah 12 orang yaitu:
1. Suami
2. Isteri
3. Anak perempuan
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki
5. Ayah
6. Ibu
7. Kakek
8. Nenek
9. Saudara perempuan sekandung
10. Saudara perempuan seayah
11. Saudara laki-laki seibu
12. Saudara perempuan sib
4.
Dzawil Arham
Ahli waris dzawil arham adalah kelompok
ahli waris yang bagian warisannya tidak disebutkan dalam Alquran dan hadits.ada dua metode yang digunakan
dalam kewarisan dzawil arham:
1.
Mazhab Ahli Tanzil dimana cara
kewarisannya disamakan dengan orang yang menurunkan (mengantarkan) hubungan
dengan muwarits. Penganutnya Syafi’i, Maliki dan Hanbali
2.
Mazhab Ahlu al-Qarabah dimana
cara kewarisannya disesuaikan dengan kedekatan dan kekuatan hubungan dengan
muwarits. Pendapat ini dipakai Hanafi
3.
Mazhab Ahl al-Rahmi dimana
semua ahli waris dzawil arham disamakan antara satu dengan yang lain dengan
bagian yang sama. Pendapat ini dianut Hasan bin Maisut dan Nuh bin
i.
Contoh Masalah
1. Seseorang mati meninggalkan seorang anak laki-laki, ibu dan
seorang isteri, berapa bagiankah untuk masing-masing?( misalnya ada 24 bagian)
Jawab :
Ibu mendapat 1/6 dari harta pusaka.
Isteri mendapat 1/8 dari harta pusaka.
Anak laki-laki mendapat sisa(ashabah)
Asal masalah : 24
Ibu mengambil 1/6 dari
24................= 4 bagian
Isteri mendapat 1/8 dari
24...............= 3 bagian
Anak laki-laki mendapat sisa dari 24
Setelah diambil untuk ibu dan isteri..= 17 bagian
Jumlah= 24
bagian
2. Aisyah mati meninggalkan
suami, dua orang saudara perempuan dan berapakah bagian masing-masing?(misalnya
6 bagian)
Jawab :
Suami mendapat 1/2 dari harta pusaka.
2 orang saudara perempuan mendapat 2/3
dari harta pusaka.
Asal masalah : 6
Suami mendapat 1/2 dari
6............................= 3
bagian
2 orang saudara perempuan dapat 2/3
dari 6..= 4 bagian
Jumlah = 7
bagian
Disini ditambah kelipatan persekutuan
yang kecil dari asal masalah 6 menjadi 7, supaya masing-masing cukup (namanya
‘aul)
Kalau kita umpamakan simati
meninggalkan uang sejumlah Rp. 2.800,- maka cara membaginya sebagai berikut :
Suami mendapat Rp. 2.800,- X
3..........= Rp. 1.200,-
7
2 orang saudara perempuan mendapat Rp.
2.800,- X 4.........= Rp. 1.600,-
7 Jumlah= Rp. 2.800,-
j.
Ahli Waris Yang Tidak Patut Menerima Harta
Warisan
Undang-undang menyebut
empat hal yang menyebabkan seseorang ahli waris menjadi tidak patut mewaris
karena kematian, yaitu sebagai berikut:
a. Seorang ahli warais yang dengan
putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan membunuh atau setidaktidaknya
mencoba membunuh pewaris;
b. Seorang ahli waris yang dengan
putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan memfitnah dan mengadukan
pewarisbahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam pidana penjara
empat tahun atau lebih;
c. Ahli waris yang dengan
kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah pewaris untuk membuat
atau menarik kembali surat wasiat;
d. Seorang ahli waris yang
telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan suratwasiat.
k.
Hak Waris Janin dalam Kandungan
Janin dalam
kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:
1. Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya
dalam kandungan ibunya ketika pewaris wafat.
2. Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut
ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan.
Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi
dalam keadaan hidup.Dan keluarnya bayi dari dalam kandungan maksimal dua tahun
sejak kematian pewaris, jika bayi yang ada dalam kandungan itu anak pewaris.Hal
ini berdasarkan pernyataan Aisyah r.a.:
"Tidaklah janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua
tahun sekalipun berada dalam falkah mighzal."
Pernyataan
Aisyah r.a. tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah
saw.. Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu
pendapat Imam Ahmad.\
Adapun mazhab
Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal empat
tahun.Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad, seperti yang
disinyalir para ulama mazhab Hambali.
Sedangkan
persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan
nyata-nyata hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru
lahir adalah jika bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau
yang semacamnya. Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan
gerakan apa saja dari bayi tersebut.
Adapun menurut
mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya
dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan
adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan hewan yang
dipotong-- maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan demikian, ia
tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Apabila bayi yang baru keluar
dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka hendaklah dishalati dan berhak
mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi)
l.
Waris Beda Agama
Menurut Hukum
Islam:
Ada tiga yang
menjadi penghalang warisan yaitu pembunuhan, beda agama dan perbudakan. Beda
agama adalah apabila antara ahli waris dan pewaris salah satunya beragama Islam
dan yang lain tidak beragama Islam.Adapun dalil yang menjadi dasar hukumnya adalah
Sabda Rasulullah Saw, yaitu:
ﻻ ﻴﺮﺙ ﺍﻠﻤﺴﻠﻡ ﺍﻠﮑﺎﻔﺮ ﻭﻻ ﺍﻠﮑﺎﻔﺮ ﺍﻠﻤﺴﻠﻡ (ﻤﺗﻔﻕ ﻋﻠﻴﻪ)
Artinya : “Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi
harta orang kafir, dan tidak berhak pula orang kafir mewarisi harta seorang
muslim”. (HR.
Ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa ahli waris muslim
tetap mendapat harta warisan dari pewaris yang kafir. Mereka mengaku bersandar
pada pendapat Mu’adz bin Jabal ra, yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh
mewarisi harta orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan hartanya kepada orang
kafir.
Sebagian ulama
lainnya mengatakan tidak bisa mewariskan. Jumhur ulama termasuk yang
berpendapat demikian adalah keempat Imam Mujtahid yaitu Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Asy-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal
Apabila dilihat
dari sudut pandang Hukum Waris Islam, maka anak yang lahir dari perkawinan beda
agama atau ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris tidak mempunyai hak
untuk mendapatkan harta waris apabila tidak seagama dengan pewaris yang dalam
hal ini pewaris beragama Islam.
Meskipun hukum
waris Islam tidak memberikan hak saling mewaris antar orang-orang yang berbeda
agama (antara muslim dengan non-muslim), tetapi terdapat ketentuan yang
menyatakan bahwa pemberian harta antar orang berbeda agama hanya dapat
dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
Hal tersebut
mengacu pada ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menetapkan
bahwa :
1. Hukum Waris Islam tidak memberikan hak
saling mewaris antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan
non-muslim).
2. pemberian harta antar orang berbeda
agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
C.
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Dari uraian terkait tentangharta
warisan dapat saya analisa warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah
(peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik
berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat islam untuk
diwariskan kepada ahli warisnya.benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.
Pentingnya
pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-adilnya
sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan
menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan antar sesama keluarga yang masih
hidup.Pembagian tersebut sudah di atur dalam
al-quran dan al hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di sepakati dengan
ijma’ dengan seadil-adilnya.
b.
Kritik dan Saran
Demikianlah
makalah yang dapat saya sampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua,
khususnya bagi kami penulis. Kritik dan saran sangat saya harapkan demi
perbaikan makalah saya. Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT., kekhilafan dan
kekurangan milik manusia.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Sabiq.Sayyid. 1987. “Fiqh Sunnah III”.PT Alma’rif. Bandung
Drs.
Fatchur Rahman, “ilmu waris”, 1987, Bandung, PT. Al ma’arif
Rifa’i,
M. 1978. “Ilmu Fiqih Islam Lengkap.
Semarang” : Penerbit PT Karya Toha Putra
Syarifuddin.Amir.2004. “Hukum Kewarisan Islam”.Kencana. Jakarta.
Rofiq, Ahmad, Dr.2001, MA.,“Fiqih Mawaris”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Dian
Khairul Umam, “Fiqih
Mawaris Cet.1”, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999)
Abdur Rahman I. Doi, Hudud
dan Kewarisan, Cet.1 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar