Selasa, 04 November 2014

WARISAN


WARISAN

A.    PENDAHULUAN

Setelah kita mempelajari makalah yang tekait dengan warisan dan hokum waeisan dalam pandangan islam, pemakalah mencoba mengurai kembali apa itu warisan menurut pemakalah sendiri, sebagaimana yang telah kita pelajari Syari’at  Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an  Qs. An-nisa: 7-14 juga telah menguraiakan secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau .ontuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada bagian pembahasan dari makalah ini.
B.     PEMBAHASAN
a.      Definisi Waris
Secara bahasa kata waris berasal dari bahasa Arab Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:

Artinya: dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya; Maka Itulah tempat kediaman mereka yang tiada di diami (lagi) sesudah mereka, kecuali sebahagian kecil. dan Kami adalah Pewaris(nya).

Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:Ulama adalah ahli waris para nabi'.

Makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama warisan ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Dapat pemakalah simpulkan disimpulkan secara terminologi, mirats berarti warisan harta kekayaan yang dibagi dari orang yang sudah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Mirats (waris) menurut syari’ah adalah sumber undang-undang sebagai pedoman antara orang yang meninggal dunia dan ahli waris, dan apa saja yang berkaitan dengan ahli waris tersebut.
Sedangkan Ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta warisan dari orang yang meninggalkannya. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan menjadi ahli waris :
1.      Sebab kerabat ( hubungan darah )
2.      Sebab pernikahan (suami/isteri)
3.      Sebab walak (menerima waris dari orang yang telah dimerdekakan olehnya)
4.      Sebab Islam, yaitu harta waris yang diserahkan kepada baitul maal untuk keperluan kaum muslimin, setelah tidak adanya ahli waris tiga hal tersebut.

b.      Dasar Dan Sumber Hukum Kewarisan Islam
Dasar dan sumber utama dari hukum islam, sebagai hukum agama (islam) adalah nas Al Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Ayat alqu’an yang mengatur kewariss Al qur’an itu adalah:

1.      QS. AN-NISA’:7-14

Artinya
7. Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
8. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu  (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik.
9. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.
10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
13. (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.
14. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.

2.      QS AN-NISA’: 176

Artinya
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

3.      QS. AL-ANFAL:75

Artinya
Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)

c.       Rukun Waris Ada Tiga:
1.      Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisiharta peninggalannya.
2.      Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta
 peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3.      Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris,baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
d.      Syarat Waris
Syarat-syarat waris ada tiga:
1.      Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnyadianggap telah meninggal).
Maksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secara hukum-- -ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya.

Contoh: Orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.

2.      Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.

Contoh: Jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup.


3.      Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.

e.       Faktor-faktor yang menyebabkan mendapat Warisan
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mendapatkan warisan ada tiga:
1.      Nasab
Allah swt berfirman dalam Qs. AL-Ahzab:
Artinya:
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Allah).
2.      Wala’ (budak yang telah dimerdekakan kepada orang yang memerdekakannya):
Dari Ibnu Umar dari Nabi saw, ia bersabda, “al-Walaa’ itu adalah kekerabatan seperti kekerabatan senasab.”
3.      Nikah
Allah swt menegaskan:
“Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS an-Nisaa’: 12)

f.       Para Ahli Waris Dari Pihak Laki-Laki
Yang berhak menjadi ahli waris dari kalangan lelaki:
1.      Anak laki-laki dan putranya dan seterusnya ke bawah.
Maksunya anak laki-laki dan putranya seterusnya kebawah adalah cucu laki-laki dari yang meninggalkan warisan
Allah swt berfirman:
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." (QS An Nisaa’: 11).

2.      Ayah dan bapaknya dan seterusnya ke atas.
Maksudnya disini, ayah dan bapakya seterusnya ke atas adalah kakek, orang tua laki-laki dari ayah.
Allah swt berfirman:
"Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan." (QS An Nisaa’: 11).
Dan datuk termasuk ayah, oleh karena itu Nabi saw bersabda:
"Saya adalah anak Abdul Muthallib."

3.      Saudara dan puteranya dan seterusnya ke bawah.
Maksunya yaitu saudara laki-laki dari yang meninggalkan harta warisan berserta putranya, atau lebih di kenal keponakan
Allah swt berfirman:
"Dan saudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak."(QS An Nisaa’: 176).

4.      Paman dan anaknya serta seterusnya.
Nabi saw bersabda:
"Serahkanlah bagian-bagian itu kepada yang lebih berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki yang lebih utama (dekat kepada mayyit)."(diriwayatkan Abu Dawud
5.      Suami.
Allah swt berfirman:
"Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu." (QS An Nisaa’: 12).
6.      Laki-laki yang memerdekakan budak.
Sabda Nabi saw:
"Hak ketuanan itu milik orang yang telah memerdekakannya."
Catatan :
Apabila dalam pembagian waris terdapat bersama anak laki-laki berkumpul dengan anak perempuan sama-sama mengambil harta pusaka itu,maka cara membaginya ialah laki-laki mendapat dua bagian dan perempuan satu bagian.

g.      Perempuan-Perempuan Yang Mendapat Warisan
Perempuan-perempuan yang berhak menjadi ahli waris:
1.      Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya.
Firman-Nya:
"Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu."(QS An Nisaa’: 11).
2.      Ibu dan nenek.
Firman-Nya:
"Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masing seperenam."(QS An Nisaa’: 11).

3.      Saudara perempuan.
Allah swt berfirman:
"Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan itu."(QS An Nisaa’: 176).
4.      Istri.
Allah swt berfirman:
"Para isteri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan."(QS An Nisaa’: 12).
5.      Perempuan yang memerdekakan budak.
Sabda Nabi saw:
"Hak ketuanan itu menjadi hak milik orang yang memerdekakannya."(Ibnu Majah).

h.      Golongan Ahli Waris
Ahli waris terbagi dua golongan, yaitu :
1.      DZU FARDLIN
Dzu fardlin adalah artinya yang mempunyai pembagian tertentu. Pembagian tertentu menurut alquran ada enam:
a.       1/2 (setengah)
1.      Suami yang dapat seperdua (dari harta peninggalan isteri), bila si mayyit tidak meninggalkan anak.Allah swt berfirman: "Dan kamu dapat separuh dari apa yang ditinggalkan isteri-isteri kamu, jika mereka tidak meninggalkan anak." (QS An Nisaa’: 12)
2.      Seorang anak perempuan.
Firman-Nya: "Dan jika (anak perempuan itu hanya) seorang, maka ia dapat separuh." (QS An Nisaa’: 11).
3.      Cucu perempuan, karena ia menempati kedudukan anak perempuan menurut ijma’ (kesepakatan) ulama’.Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama’ sepakat bahwa cucu laki-laki dan cucu perempuan menempati kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Cucu laki-laki sama dengan anak laki-laki, dan cucu perempuan sama dengan anak perempuan, jika si mayyit tidak meninggalkan anak kandung laki-laki." (Al Ijma’ hal. 79)
4.      Saudara perempuan seibu dan sebapak dan saudara perempuan sebapak.
Firman-Nya: "Jika seorang meninggal dunia, padahal ia tidak mempunyai anak, tanpa mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan dapat separuh dari harta yang ia tinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176)

b.      1/4 (seperempat)
1.      Suami dapat seperempat, jika isteri yang wafat meninggalkan anak.Firman-Nya: "Tetapi jika mereka meninggalkan anak, maka kamu dapat seperempat dari harta yang mereka tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).
2.      Isteri, jika suami tidak meninggalkan anak.Firman-Nya: "Dan isteri-isteri kamu mendapatkan seperempat dari apa yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak meninggalkan anak." (QS An Nisaa’: 12).

c.       1/8 (seperdelapan)
Istri dapat seperdelapan, jika suami meninggalkan anak.Firman-Nya: "Tetapi jika kamu tinggalkan anak, maka isteri-isteri kamu dapat seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).

d.      1/3 (sepertiga)
1.      Ibu, jika ia tidak mahjub (terhalang).Firman-Nya: "Tetapi jika si mayyit tidak mempunyai anak, dan yang jadi ahli warisnya (hanya) ibu dan bapak, maka bagi ibunya sepertiga." (QS An Nisaa’: 11).
2.      Dua saudara seibu (saudara tiri) dan seterusnya.Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan tak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu, dapat seperenam, tetapi jika saudara-saudara itu lebih dari itu maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu." (QS An Nisaa’: 12).

e.       2/3 (dua pertiga)
1.      Dua anak perempuan dan cucu perempuan (dari anak laki-laki).
Firman-Nya: "Tetapi jika anak-anak (yang jadi ahli waris) itu perempuan (dua orang) atau lebih dari dua orang, maka mereka daat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan (oleh bapaknya)." (QS An Nisaa’: 11).
2.      Dua saudara perempuan seibu sebapak dan dua saudara perempuan sebapak.
Firman-Nya: "Tetapi jika adalah (saudara perempuan) itu dua orang, maka mereka dapat dua pertiga dari harta yang ia tinggalkan." (QS An Nisaa’: 176).

f.       1/6 (seperenam)
1.      Ibu dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak atau saudara lebih dari seorang.
Firman-Nya: "Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya dapat sepertiga; jika yang wafat itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 11).
2.      Nenek, bila si mayyit tidak meningalkan ibu. Ibnul Mundzir menegaskan, "Para ulama’ sepakat bahwa nenek dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan ibu." (Al Ijma’ hal. 84).
3.      Seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan. Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan itu tidak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 12).
4.      Cucu perempuan, jika si mayyit meninggalkan seorang anak perempuan:
Dari Abu Qais, ia bertutur: Saya pernah mendengar Huzail bin Syarahbil berkata, "Abu Musa pernah ditanya perihal (bagian) seorang anak perempuan dan cucu perempuan serta saudara perempuan."
Maka ia menjawab, "Anak perempuan dapat separuh dan saudara perempuan separuh (juga), dan temuilah Ibnu Mas’ud (dan tanyakan hal ini kepadanya) maka dia akan sependapat denganku!" Setelah ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan pernyataan Abu Musa disampaikan kepadanya, maka Ibnu Mas’ud menjawab, "Sungguh kalau begitu (yaitu kalau sependapat dengan pendapat Abu Musa) saya benar-benar sesat dan tidak termasuk orang-orang yang mendapat hidayah. Saya akan memutuskan dalam masalah tersebut dengan apa yang pernah diputuskan Nabi saw: yaitu anak perempuan dapat separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki dapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), dan sisanya untuk saudara perempuan.’ Kemudian kami datang menemui Abu Musa, lantas menyampaikan pernyataan Ibnu Mas’ud kepadanya, maka Abu Musa kemudian berkomentar, ”Janganlah kamu bertanya kepadaku selama orang yang berilmu ini berada di tengah-tengah kalian.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1863, Fathul Bari XII: 17 no: 6736, ’Aunul Ma’bud VIII: 97 no: 2873, Tirmidzi III: 285 no: 2173, namun dalam riwayat Abu Daud dan Tirmidzi tidak termaktub kalimat terakhir).
5.      Saudara perempuan sebapak, jika si mayat meninggalkan seorang saudara perempuan seibu sebapak sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), karena dikiaskan kepada cucu perempuan, bila si mayyit meninggalkan anak perempuan.
6.      Bapak dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak. Firman-Nya: "Dan bagi dua ibu bapaknya; buat tiap-tiap seorang dari mereka seperenam dari harta yang ditinggalkan (oleh anaknya), jika (anak itu) mempunyai anak." (QS An Nisaa’: 11).
7.      Datuk (kakek) dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan bapak. Dalam hal ini Ibnul Mundzir menyatakan, "Para ulama’ sepakat bahwa kedudukan datuk sama dengan kedudukan ayah." (Al Ijma’ hal. 84).

Ahli waris yang mendapat bagian salah satu dari enam macam bagian tersebut, dinamakan ahli waris dzu fardlin. 

2. ASHABAH
Menurut bahasa, kata ’ashabah adalah bentuk jama’ dari kata ’aashib, seperti kata thalabah adalah bentuk jama’ dari kata thaalib, (kata ’ashabah) yang berarti anak-anak laki-laki seorang dan kerabatnya dari ayahnya.
Sedang yang dimaksud dalam kajian faraidh di sini ialah orang-orang yang mendapat alokasi sisa dari harta warisan setelah ashabul furudh (orang-orang yang berhak mendapat bagian) mengambil bagiannya masing-masing. Jika ternyata harta warisan itu tidak tersisa sedikitpun, maka orang-orang yang terkategori ’ashabah itu tidak mendapat bagian sedikitpun, kecuali yang menjadi ’ashabah itu adalah anak laki-laki, maka sama sekali ia tidak pernah terhalang. (Fiqh Sunnah III: 437).
Segenap orang yang termasuk ’ashabah berhak juga mendapatkan harta warisan seluruhnya, bila tidak didapati seorangpun dari ashabul furudh.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda, ”Serahkanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki yang lebih utama (lebih dekat kepada si mayyit).”
Allah swt berfirman:
"Dan saudara laki-laki itu menjadi ahli waris pusaka saudara perempuannya, jika saudara perempuan tersebut tidak mempunyai anak (laki-laki)."(QS An Nisaa’: 176).
Jadi, seluruh harta warisan harus diserahkan kepada saudara laki-laki, ketika ia sendirian, dan kiaskanlah seluruh ’ashabah yang lain kepadanya.
Klasifikasi 'Ashaba. terbagi dua, yaitu:
1.      ’Ashabah sababiyah
ialah’ashabahyang terjadi karena telah memerdekakan budak. Nabi saw bersabda:
”Hak ketuanan itu milik bagi orang memerdekakannya.”

Sabda Beliau saw lagi:
”Hak ketuanan itu adalah daging seperti daging senasab.”
Orang laki-laki atau perempuan yang memerdekakan budak tidak boleh menjadi ahli waris, kecuali apabila yang bekas budak itu tidak meninggalkan orang yang termasuk ’ashabah nasabiyah:
Dari Abdullah bin Syaddad dari puteri Hamzah, ia berkata, ”Bekas budakku telah meninggal dunia dan ia meninggalkan seorang puteri, maka Rasulullah saw membagi harta peninggalannya kepada kami dan kepada puterinya, yaitu Beliau menetapkan separuh untukku dan separuhnya (lagi) untuk dia.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah).

2.      ‘Ashabah nasabiyah
Ada tiga kelompok:
a.      'Ashabah binafsih,
Orang-orang yang menjadi ‘ashabah dengan sendirinya: Mereka adalah orang-orang laki-laki yang menjadi ahli waris selain suami dan anak dari pihak ibu.
b.      ‘Ashabah bighairih,
Orang-orang yang jadi ‘ashabah disebabkan ada orang lain: Mereka adalah anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan seibu sebapak, dan saudara perempuan sebapak. Jadi, masing-masing dari mereka itu kalau ada saudara laki-lakinya menjadi ’ashabah mendapat separuh dari harta warisan.
Firman-Nya:
"Dan jika mereka (yang jadi ahli waris) itu saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagi saudara laki-laki itu bagian dua saudara perempuan."(QS An Nisaa’: 176).
c.       'Ashabah ma’aghairih.
Orang-orang yang jadi ‘ashabah bersama orang lain: Mereka adalah saudara-saudara perempuan bersama anak-anak perempuan; berdasarkan hadits:
Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata, “Dan sisanya untuk saudara perempuan.”
3.      Dzawil Arham
Ahli waris Dzawil Arham adalah ahli waris perempuan atau ahli waris yang hubungannya dengan muwarits diantarkan oleh ahli waris yang berjenis kelamin perempuan. Mereka adalah ahlli waris kerabat yang bukan termasuk ashabul furudl dan ashabah.

Macam-Macam Ahli Waris Dilihat Dari Perolehan Bagian Warisan:
a.       Ahli Waris Dzawil Furudl
Ahli waris dzawil furudl adalah ahli waris yang bagian warisannya telah ditetapkan di dalam Alquran, hadits atau ijma’, mereka berjumlah 12 orang yaitu:
1. Suami
2. Isteri
3. Anak perempuan
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki
5. Ayah
6. Ibu
7. Kakek
8. Nenek
9. Saudara perempuan sekandung
10. Saudara perempuan seayah
11. Saudara laki-laki seibu
12. Saudara perempuan sib
4.      Dzawil Arham
Ahli waris dzawil arham adalah kelompok ahli waris yang bagian warisannya tidak disebutkan dalam Alquran dan hadits.ada dua metode yang digunakan dalam kewarisan dzawil arham:
1.      Mazhab Ahli Tanzil dimana cara kewarisannya disamakan dengan orang yang menurunkan (mengantarkan) hubungan dengan muwarits. Penganutnya Syafi’i, Maliki dan Hanbali
2.      Mazhab Ahlu al-Qarabah dimana cara kewarisannya disesuaikan dengan kedekatan dan kekuatan hubungan dengan muwarits. Pendapat ini dipakai Hanafi
3.      Mazhab Ahl al-Rahmi dimana semua ahli waris dzawil arham disamakan antara satu dengan yang lain dengan bagian yang sama. Pendapat ini dianut Hasan bin Maisut dan Nuh bin


i.        Contoh Masalah
1.      Seseorang mati meninggalkan seorang anak laki-laki, ibu dan seorang isteri, berapa bagiankah untuk masing-masing?( misalnya ada 24 bagian)
Jawab :     
Ibu mendapat 1/6 dari harta pusaka.
Isteri mendapat 1/8 dari harta pusaka.
Anak laki-laki mendapat sisa(ashabah)
Asal masalah : 24
Ibu mengambil 1/6 dari 24................=            4 bagian
Isteri mendapat 1/8 dari 24...............=            3 bagian
Anak laki-laki mendapat sisa dari 24
Setelah diambil untuk ibu dan isteri..=           17 bagian
                                                                                    Jumlah=           24 bagian
2.      Aisyah mati meninggalkan suami, dua orang saudara perempuan dan berapakah bagian masing-masing?(misalnya 6 bagian)
Jawab :           
Suami mendapat 1/2 dari harta pusaka.
2 orang saudara perempuan mendapat 2/3 dari harta pusaka.
Asal masalah : 6
Suami mendapat 1/2 dari 6............................=           3 bagian
2 orang saudara perempuan dapat 2/3 dari 6..=          4 bagian
                                                                                                Jumlah =          7 bagian
Disini ditambah kelipatan persekutuan yang kecil dari asal masalah 6 menjadi 7, supaya masing-masing cukup (namanya ‘aul)
Kalau kita umpamakan simati meninggalkan uang sejumlah Rp. 2.800,- maka cara membaginya sebagai berikut :
Suami mendapat Rp. 2.800,- X 3..........= Rp. 1.200,-
                                    7
2 orang saudara perempuan mendapat Rp. 2.800,- X 4.........= Rp. 1.600,-
                                                                        7          Jumlah= Rp. 2.800,-


j.        Ahli Waris Yang Tidak Patut Menerima Harta Warisan
Undang-undang menyebut empat hal yang menyebabkan seseorang ahli waris menjadi tidak patut mewaris karena kematian, yaitu sebagai berikut:
a.       Seorang ahli warais yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan membunuh atau setidaktidaknya mencoba membunuh pewaris;
b.      Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan memfitnah dan mengadukan pewarisbahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih;
c.       Ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat;
d.      Seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan suratwasiat.

k.      Hak Waris Janin dalam Kandungan
Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:
1.      Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika pewaris wafat.
2.      Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan.
Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup.Dan keluarnya bayi dari dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi yang ada dalam kandungan itu anak pewaris.Hal ini berdasarkan pernyataan Aisyah r.a.:
"Tidaklah janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun berada dalam falkah mighzal."
Pernyataan Aisyah r.a. tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah saw.. Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad.\
Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal empat tahun.Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad, seperti yang disinyalir para ulama mazhab Hambali.
Sedangkan persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan nyata-nyata hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru lahir adalah jika bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau yang semacamnya. Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi tersebut.
Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan hewan yang dipotong-- maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi)       

l.        Waris Beda Agama
Menurut Hukum Islam:
Ada tiga yang menjadi penghalang warisan yaitu pembunuhan, beda agama dan perbudakan. Beda agama adalah apabila antara ahli waris dan pewaris salah satunya beragama Islam dan yang lain tidak beragama Islam.Adapun dalil yang menjadi dasar hukumnya adalah Sabda Rasulullah Saw, yaitu:
ﻻ ﻴﺮﺙ ﺍﻠﻤﺴﻠﻡ ﺍﻠﮑﺎﻔﺮ ﻭﻻ ﺍﻠﮑﺎﻔﺮ ﺍﻠﻤﺴﻠﻡ (ﻤﺗﻔﻕ ﻋﻠﻴﻪ)
Artinya : “Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak berhak pula orang kafir mewarisi harta seorang muslim”. (HR.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa ahli waris muslim tetap mendapat harta warisan dari pewaris yang kafir. Mereka mengaku bersandar pada pendapat Mu’adz bin Jabal ra, yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi harta orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan hartanya kepada orang kafir.
Sebagian ulama lainnya mengatakan tidak bisa mewariskan. Jumhur ulama termasuk yang berpendapat demikian adalah keempat Imam Mujtahid yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal
Apabila dilihat dari sudut pandang Hukum Waris Islam, maka anak yang lahir dari perkawinan beda agama atau ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris tidak mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris apabila tidak seagama dengan pewaris yang dalam hal ini pewaris beragama Islam.
Meskipun hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewaris antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan non-muslim), tetapi terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa pemberian harta antar orang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
Hal tersebut mengacu pada ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menetapkan bahwa :
1.      Hukum Waris Islam tidak memberikan hak saling mewaris antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan non-muslim).
2.      pemberian harta antar orang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.

C.    PENUTUP
a.      Kesimpulan
      Dari uraian terkait tentangharta warisan  dapat saya analisa warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.
Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup.Pembagian tersebut sudah di atur dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di sepakati dengan ijma’ dengan seadil-adilnya.
b.      Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi kami penulis. Kritik dan saran sangat saya harapkan demi perbaikan makalah saya. Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT., kekhilafan dan kekurangan milik manusia.



DAFTAR KEPUSTAKAAN
Sabiq.Sayyid. 1987. “Fiqh Sunnah III”.PT Alma’rif. Bandung
Drs. Fatchur Rahman, ilmu waris, 1987, Bandung, PT. Al ma’arif          
Rifa’i, M. 1978. “Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang” : Penerbit PT Karya Toha Putra
Syarifuddin.Amir.2004. “Hukum Kewarisan Islam”.Kencana. Jakarta.
Rofiq, Ahmad, Dr.2001, MA.,Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris Cet.1, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999)
Abdur Rahman I. Doi, Hudud dan Kewarisan, Cet.1 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996)