METODOLOGI TAFSIR dan METODOLOGI HADITS
1.
METODOLOGI
TAFSIR
A.
PENGERTIAN
TAFSIR DAN METODOLOGI TAFSIR
Tafsir menurut bahasa diambil dari
kata “fassara-yufassiru” yang berarti menjelaskan dan menerangkan. Tafsir dapat
mengeluarkan makna yang tersimpan dalam al-Qur’an. Menurut al-Shabuni tafsir
ialah suatu ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Rasulullah
SAW, dan menjelaskan makna serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya.
Sedangkan menurut imam al-Zarkasyi dalam kitabnya al-burhan fi ulumi al-Qur’an,
tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Rasulullah
dan menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya,
menguraikannya dari segi bahasa, nahu, sharaf, ilmu bayan, ushul fiqh dan ilmu
qira’at, untuk mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, nasakh dan mansukh.[1] Jadi,
tafsir merupakan penjelasan ayat al-Qur’an dengan menjelaskan arti kata demi
kata yang terdapat dalam ayat, kemudian mengupas arti dan maksud ayat secara
keseluruhan dan akhirnya diambil intisarinya, baik berupa hukum-hukum atau
petunjuk.
Lahirnya metode-metode tafsir disebabkan
oleh tuntutan perubahan sosial yang selalu dinamik. Dinamika perubahan sosial
mengisyaratkan kebutuhan pemahaman yang lebih kompleks. Kompleksitas kebutuhan
pemahaman atas al-qur’an itulah yang mengakibatkan, tidak boleh tidak, para
mufassir harus menjelaskan pengertian ayat-ayat al-qur’an yang berbeda –beda.
Metodologi tafsir menduduki posisi yang teramat penting didalam tatanan ilmu
tafsir, karena tidak mungkin sampai kepada tujuan tanpa menempuh jalan yang
menuju kesana.
Al-qur’an secara tekstual memang tidak
berubah, tetapi penafsiran atas teksnya selalu berubah, sesuai dengan konteks
ruang dan waktu manusia. Karenanya, al-qur’an selalu membuka diri untuk
dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai
alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya.
Menurut Rosihan Anwar metodologi tafsir
adalah ilmu tentang metode penafsiran al-Qur’an. Disini dapat dibedakan antara
metode tafsir dan metodologi tafsir. Metode tafsir adalah cara-cara menafsirkan
al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir adalah ilmu tentang cara penafsiran
al-Qur’an.[2]
Menurut Nashruddin Baidun yang dimaksud
dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara yang teratur
dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat
al-Qur’an sesuai kemampuan manusia.[3]
B.
METODOLOGI TAFSIR
Nashruddin Baidan dalam bukunya
metodologi penafsiran al-Qur’an menulis bahwa metode tafsir itu dibagi menjadi
empat jenis[4],
yaitu:
1. Metode
Global (Ijmali)
Metode
Global (Ijmali) ialah menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, tanpa uraian panjang lebar, mudah
dimengerti dan enak dibaca. Dengan metode ini, mufassir menjelaskan arti dan
maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa
menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki.
Menurut
Al-Farmawi metode tafsir ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan
ayat-ayat al-qur’an dengan cara mengungkapkan makna global. Makna yang
diungkapkan biasanya diletakkan dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut
pola-pola yang diakui oleh ulama dan mudah dipahami oleh semua orang.[5]
Didalam
tafsirnya, seorang penafsir menginginkan lafadz bahasa yang mirip bahkan sama
dengan lafadz al-Quran, sehingga pembaca kan merasa bahwa uraiannya tersebut
tidak jauh dari gaya bahasa al-Qur’an itu sendiri dan lafadz-lafadznya.
2. Metode
Analitis (Tahlili),
Metode
Analitis (Tahlili), yaitu metode
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung
didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu dengan menerangkan makna-makna yang
tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut. Menggunakan metode tahlili ini para mufassir
menafsirkan ayat mengikuti rentetan ayat demi ayat sesuai dengan urutan/susunan
ayat dan surat yang tercantum dalam al-Qur’an.
Menurut
Al-Farmawi metode tafsir tahlili adalah suatu metode yang bermaksud menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Penafsiran memulai
uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai
arti global ayat. Ia juga mengemukakan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta
menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lainnya.[6]
Lebih
jauh Nashruddin Baidan menerangkan bahwa metode tahlili ini adalah penafsiran
berpola menjelaskan makna yang terkandung didalam ayat al-Qur’an secara
komprehensif dan menyeluruh baik berbentuk al-ma’tsur
(riwayat) maupun berbentuk al-ra’y
(pemikiran). Langkah-langkah penafsiran itu antara lain:
a. Al-Qur’an
itu ditafsirkan ayat demi ayat, surah demi surah secara berurutan
b. Diterangkan
juga ashab al-nuzul dari ayat yang ditafsirkan
c. Kemudian
dilengkapi dengan penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh Rasulullah SAW,
sahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in, dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai
disiplin ilmu
d. Dijelaskan
juga munasabah (kaitan) antara satu ayat dengan ayat lain, antara satu surah
dengan surah lain
Penafsiran
ini juga diwarnai oleh kecenderungan dan keahlian mufassirnya sehingga hal ini
melahirkan berbagai corak penafsiranseperti fiqhi, sufi, falsafi, ‘ilmi, ‘adabi
ijtima’i, dan lain-lain. Kelebihan metode ini antara lain adanya potensi untuk
memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosa kata ayat,
syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu dahulu. Cara penafsiran ayat-ayat dalam
tafsir al-kasysyaf karangan al-zamakhsyari dan tafsir dengan cara tahlili.
3. Metode
Komparatif (Muqaran)
Metode Komparatif (Muqaran)adalah suatu metode penafsiran
perbandingan. Menurut Nashruddin Baidan metode komparatif ini adalah:
a. Membandingkan
teks (nash) ayat-ayat al-qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi
dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus
yang sama
b. Membandingkan
ayat-ayat al-qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan
c. Membandingkan
berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an
Metode
tafsir muqaran mengemukakan penafsiran-penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis
oleh sejumlah para penafsir. Disini seorang penafsir menghimpun sejumlah
ayat-ayat al-qur’an, kemudian ia mengkaji dan meneliti ayat tersebut melalui
kitab-kitab tafsir mereka
Seorang
peneliti juga berusaha memperbandingkan arah dan kecenderungan masing-masing
penafsir, dan menganalisis tentang apa yang melatarbelakangi seorang penafsir
menuju arah dan memilih kecenderungan tertentu, sehingga peneliti dapat melihat
dengan jelas siapa diantara penafsir yang dipengaruhi oleh perbedaan mazhab dan
siapa yang bertendensi untuk memperkuat suatu mazhab.
Metode
tafsir muqaran dapat juga melakukan dengan cara memperbandingkan sejumlah ayat
al-Qur’an dengan yang lainnya yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi
dalam dua atau lebih kasus yang berbeda, atau yang memiliki redaksi yang
berbeda untuk masalah atau khusus yang sama. Dan juga memperbandingkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits-hadits nabi yang secara lahiriyah tampak
berbeda.[7]
4. Metode
Tematik (Maudhu’i)
Metode
Tematik (Maudhu’i), adalah tafsir
yang membahas ayat-ayat al-qur’an dalam tema yang sesuai dengan tema atau judul
yang telah ditetapkan. Metode tematik ini adalah metode tafsir yang membahas mengenai satu topik
masalah secara menyeluruh menjelaskan maksudnya secara umum dan khusus serta
rinci menghubungkan masing-masing pokok masalah. Dalam metode tematik ini
terdapat dua cara yang digunakan, yaitunya:
a. Cara
yang pertama, metode ini menentukan urutan ayat-ayat itu sesuai dengan masa
turunnya, mengemukakan sebab turunnya sepanjang hal itu dimungkinkan (jika
ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu), menguraikannya dengan
sempurna, menjelaskan makna dan tujuannya, dan lain-lain sehingga satu tema itu
dapat dipecahkan secara tuntas berdasarkan seluruh ayat al-Qur’an itu dan oleh
karenanya tidak diperlukan ayat-ayat lain. Cara ini merupakan cara yang sangat
penting dalam metode tematik.
b. Cara
yang kedua, penafsiran yang dilakukan seorang mufassir dengan cara mengambil
satu surat dari surat-surat al-Qur’an. Surat itu dikaji secara keseluruhan,
dari awal sampai akhir surat. Kemudian ia menjelaskan tujuan-tujuan khusus dan
umum dari surat itu serta menghubungkan antara masalah-masalah (tema-tema) yang
dikemukakan pada ayat-ayat dari surat itu, sehingga jelas surat itu merupakan
suatu rantai emas yang setiap gelang-gelang darinya bersambung satu dengan
lainnya, sehingga ia menjadi satu kesatuan yang sangat kokoh.
Al-Qur’an
merupakan nikmat besar yang Allah turunkan kepada seluruh manusia untuk
menyucikan hati, membersihkan jiwa, menjelaskan aqidah-aqidah, menunjukkan ke
jalan kebenaran dan keadilan, mengajarkan akhlak yang luhur dan sifat-sifat
terpuji, memperingatkan mereka agar tidak berbuat kemungkaran dan amal-amal
buruk lainnya, menyucikan masyarakat dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang
merusak tatanan kehidupan dan menunjukkan mereka untuk mencapai kebahagiaan
didunia dan akhirat.
Oleh
karena itu, wajib atas umat islam mengkaji al-Qur’an melalui kajian khusus yang
mampu mengungkapkan segala kandungannya kepada manusia, yaitu norma-norma hukum
yang bernilai tinggi, syaria’at yang penuh dengan hikmah dan norma-norma
akhlak, dan dapat menginformasikan kepada dunia, bahwa al-Qur’an mempunyai
kaitan yang kuat dengan tatanan-tatanan politik, peperangan, kemasyarakatan,
ekonomi dan akhlak. Juga dapat menegaskan bahawa al-Qur’an adalah jalan untuk
mencapai kebahagiaan dalam setiap lapangan kehidupan mereka.
Bagi
orang yang hendak mengetahui hal-hal itu semua, maka mereka tidak akan
menemukannya melalui penelaahan terhadap kitab-kitab tafsir yang menggunakan
metode tahlili, karena didalamnya dikemukakan pula ilmu-ilmu lain yang justru
menyimpang dari sasaran pokok ayat-ayat yang ditafsirkan dan oleh karena banyak
diantara kaum muslimin yang tidak mempunyai pengetahuan yang memadai. Sehingga
sulit untuk memahaminya dari kitab-kitab tafsir yang penuh dengan kajian segi
bahasa, dan ungkapa-ungkapan yang sulit dipahami oleh kebanyakan orang. Untuk memahami
ayat-ayat al-Qur’an, merenungkan dan memikirkan makna-makna dan tema-tema yang
terdapat didalamnya sangat bergantung pada sejauh mana seseorang hafal al-Qur’an.
Karena
sebab-sebab itulah, maka ulama memiliki kewajiban untuk lebih memperhatikan metode
tafsir maudhu’i, agar makna-makna dan tema-tema dalam al-Qur’an dengan lebih
mudah dapat dipahami oleh umat islam pada umumnya.[8]
C.
CONTOHNYA
Adapun
contoh-contoh dari masing-masing metode tafsir tersebut adalah sebagai berikut:
1. Contoh
Metode Global (Ijmali)
Dapat dilihat pada tafsir aljalalain karya jalaluddin al-mahalli dan
jalaluddin as-suyuti, ketika menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 1 dan 2:
Artinya: Alif laam miin. (Al Quran) ini tidak ada
keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
2. Contoh
Metode Analitis (Tahlili)
Contohnya adalah dalam
surat An-Nisa’ ayat 164 berikut:
Artinya:
“dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”
Al-Zamkhasyari dengan
melakukan penafsiran kosa kata, mengartikan lafadz kallama dengan Al-Jarb. Dengan demikian ayat tersebut diberi arti
“dan Allah telah melukai Musa dengan kuku-kuku ujian dan cobaan-cobaan hidup”.
Untuk ayat dan lafadz yang sama, al-razi tetap memakai arti yang umum yaitu
berbicara. Sehingga penafsiran yang selama ini dikenal yaitu bahwa Allah
berbicara kepada Musa.[9]
3. Contoh
Metode Komparatif (Muqaran)
QS.
Al-Anfal ayat 10:
Artinya
: “Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai
kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu
hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dibandingkan dengan QS
Ali Imran ayat 126
Artinya : “Dan Allah
tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira
bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu
hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Kedua ayat tersebut redaksinya
kelihatan mirip, bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum
muslimin ketika melawan musuh-musuhnya, namun berbeda pada hal-hal sebabi
berikut. Pada surat Al-Anfal pertama mendahulukan kata ÏmÎ/
daripada Nä3ç/qè=è%, memakai kata cÎ),
berbicara mengenai perang badar. Sedangkan pada Surat Ali Imran memakai kata Nä3s9
dan berbicara tentang perang uhud.
Keterdahuluan kata mÎ/
dan penambahan kata cÎ), dalam ayat pertama diduga keras
sebagai tauhid terhadap kandungan utama ayat, yakni bantuan dari Allah pada
perang badar, mengingat perang itu yang pertama dan jumlah kaum muslimin
sedikit.
Dalam perang uhud, tauhid itu tidak
diperlukan, sebab pengalaman perang sudah ada dan umat islam sudah banyak, dan
pemakaian kata disini menandakan kegembiraan itu hanya bagi sahabat, bukan
kegembiraan abadi seperti kasus ayat pertama.[10]
4. Contoh
Metode Tematik (Maudhu’i)
Sebagai
contoh misalnya, seorang mufassir mengkaji dan menafsirkan surat Yasin.[11]
Kemudian berdasarkan kajiannya ia mengatakan, bahwa surat itu dapat dibagi menjadi
tiga bagian yang masing-masing bagian saling berkaitan, bersambung dan mengarah
kepada satu pengertian (masalah).
Bagian pertama,
dari awal surat sampai ayat ke 32, mengarah kepada penjelasan tentang kerasulan
Muhammad SAW, menetapkan kenabiannya, menuturkan keadaan orang-orang musyrik,
baik dari golongan Quraisy maupun golongan lain, dan mengemukakan tentang
penduduk suatu negeri sebagai contoh bagi mereka, agar mereka mengambil
pelajaran darinya dan mengubah sikap ingkar mereka, serta mengancam mereka
dengan siksa jika mereka tidak beriman.
Bagian kedua,
dari ayat 33-44, mengetengahkan
dalil-dalil atas wujud Allah SWT dan keluasan ilmu-Nya, sehingga mereka beriman
kepada-Nya. Dalam ayat itu dikemukakan tiga tanda kekuasaan-Nya, yaitu:
a. Kelompok
pertama dari ayat-ayat tersebut (33-36), berkaitan dengan bumi. Disini
dikemukakan tiga bukti kekuasaan Allah, yaitu menciptakan segala yang ada
dibumi, yaitu biji-bijian dan kebun-kebun, memancarkan mata air dengan air yang
tawar dan manis, dan menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari mereka sendiri maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui
b. Kelompok
kedua dari ayat-ayat tersebut (37-40), berkaitan dengan langit. Disini
dikemukakan tiga bukti kekuasaan Allah, yaitu pergantian waktu siang dan malam
serta penciptaan langit, penciptaan bulan dan bintang-bintang, dan beredarnya
semua benda-benda langit diruang angkasa
c. Kelompok
ketiga dari ayat-ayat tersebut (41-44), berkaitan dengan air. Disini juga
dikemukakan tiga bukti kekuasaan Allah, yaitu penciptaan lautan dan
sungai-sungai, penciptaan bahtera (kapal) sebagai sarana transportasi orang
maupun barang, dan penciptaan onta sebagai alat transportasi bagi mereka
dipadang pasir dan untuk membawa barang-barang mereka
Bagian
ketiga, dari ayat 45 sampai akhir surat, menuturkan keadaan dan segala kejadian
pada hari kiamat, yaitu peniupan sangkakala, surga dan kenikmatannya, neraka
dan siksanya, juga menuturkan bukti-bukti kekuasaan Allah untuk membangkitkan
dan menghidupkan manusia kembali.
Tiga
bagian dari surat yasin tersebut pada dasarnya merupakan satu masalah, yaitu
dorongan untuk beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhir.kemudian mufassir
berupaya menguraikan sub-sub masalah itu.
2.
METODOLOGI
HADITS
A.
PENGERTIAN
HADITS DAN METODOLOGI HADITS
Hadits menurut bahasa yaitu “al-jadid”
artinya sesuatu yang baru. Hadits sering disebut “al-khabar” yang berarti
berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada
orang lain, sama maknanya dengan hadits. Sedangkan menurut ahli hadits, hadits
merupakan segala ucapan Nabi SAW, segala perbuatannya, dan segala keadaan
beliau. Menurut ahli ushul hadits, hadits merupakan segala perkataan, segala
perbuatan, dan segala taqrir Nabi SAW, yang bersangkut paut dengan hukum. Serta
menurut para ulama ushul, hadits merupakan segala perkataan Nabi SAW, perbuatan
dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa hadits merupakan sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW berupa
perkataan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum.[12]
Melakukan studi hadits adalah untuk
meneliti kualitas hadits. Kualitas hadits sangat perlu diketahui dalam
hubungannya dengan kehujjahan (argumentasi) hadits yang bersangkutan. Hadits
yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujjah.
Pemenuhan syarat itu diperlukan karena hadits merupakan salah satu sumber
ajaran Islam. Munculnya nama banyak tokoh, penelitian hadits dilakukan secara
besar-besaran dengan melibatkan banyak orang. Dengan demikian penelitian hadits
menggambarkan betapa kerja meneliti sudah menjadi tradisi ilmiah sekaligus
kebutuhan dikalangan umat Islam waktu itu.
Hadits yang diteliti adalah hadits yang
berstatus ahad. Untuk hadits yang berstatus mutawayir ulama tidak menganggap
perlu diteliti lebih lanjut sebab hadits yang bersangkutan berasal dari Nabi.
Menurut syuhudi ismail bagian-bagian hadits yang menjadi objek penelitian ada
dua macam yaitu sanad dan matan. Sanad adalah rangkaian para periwayat yang
menyampaikan riwayat hadits. Sedangkan matan adalah materi atau isi hadits itu
sendiri.[13]
Sanad hadits mengandung dua bagian
penting, yang pertama yaitu nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan
hadits yang bersangkutan. Kedua, lambang-lambang periwayatan hadits yang telah
digunakan oleh masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadits yang
bersangkutan, misalnya sami’tu,
akhbarani, ‘an, dan ‘anna.
Untuk meneliti matan hadits dari segi
kandungannya diperlukan penggunaan pendekatan bahasa arab yang digunakan oleh
Nabi dalam menyampaikan hadits dengan selalu dalam susunan yang baik dan benar.
Disamping itu, pendekatan lain juga dibutuhkan seperti rasio, sejarah, dan,
prinsip-prinsip pokok Islam.
Para peneliti hadits dalam melakukan
penelitian berbekal metodologi yang baku dan ketat. Mereka menggolongkan hadits
kedalam empat golongan utama, yaitu shahih atau asli, hasan atau baik, dha’if
atau lemah, dan maudhu’ atau palsu. Apabila kita akan meneliti keshahihan
sebuah hadits tersbut satu persatu mulai dari sanadnya, matannya, rawinya.
Caranya dengan metode yang disebut takhrijul-hadits.
Dalam proses pentadwinan sunnah atau
hadits dari periode ke periode mengalami beberapa perkembangan, mulai zaman
Nabi sampai zaman pembuatan syarah.
Takhrij hadits adalah fase kedelapan dari periode dimaksud, yaitu periode
metode takhrij al-hadits (suatu
metode penelitian hadits).
B.
RUANG
LINGKUP METODOLOGI HADITS
1.
Metode
Takhrij atau Penelitian Hadits
Menurut Muhaimin[14],
metode penelitian hadits disebut dengan dengan takhrijul hadits. Secara terminologi takhrij berarti menunjukkan
letak hadits dalam sumber-sumber yang asli (sumber primer) dimana diterangkan
rangkaian sanadnya., kemudian dijelaskan nilai hadits tersebut bila perlu.
Takhrij hadits sangat berguna antara lain untuk memperluas pengetahuan
seseorang tentang seluk beluk kitab-kitab hadits dalam berbagai bentuk dan
sistem penyusunannya, mempermudah seseorang dalam mengembalikan sesuatu hadits
yang ditemukannya dalam sumber-sumber aslinya, sehingga dengan demikian akan
mudah pula mengetahui derajat keshahihan/tidaknya hadits tersebut.
Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan takhrij hadits, yaitu:
1) Memperhatikan
sahabat yang meriwayatkannya, jika disebutkan
2) Memperhatikan
lafadz-lafadz pertama dari matan hadits
3) Memperhatikan
salah satu lafadz hadits
4) Memperlihatkan
tema hadits
5) Memperhatikan
sifat khusus sanad/matan hadits
Dengan demikian, untuk melakukan
takhrij hadits dapat ditempuh salah satu metode dari beberapa metode berikut:
1) Metode
takhrij melalui pengetahuan tentang nama sahabat perawi hadits, metode ini
hanya dipergunakan bila nama sahabat itu tercantum pada hadits yang akan
ditakhrij. Apa bila nama sahabat tercantum pada hadits tersebut, atau tidak
tercantum tetapi dapat diketahui dengan cara tertentu, kemudian ditentukan pula
metode takhrij yang didasarkan pada pengetahuan nama sahaba, perawi hadits,
maka digunakan 3 macam kitab, yaitu:
a. Kitab
musnad, adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkan urutan nama sahabat, sesuai
dengan kedahuluannya masuk Islam atau sanadnya dalam kitab ini hadits-hadits
para sahabat dikumpulkan secara tersendiri
b. Kitab
mu’jam, adalah kitab yang disusun menurut nama-nama sahabat, guru, negeri atau
lainnya.
c. Kitab
at-Tharaf, adalah semacam kitab atau hadits yang penyusunannya hanya
menyebutkan sebagian matan hadits yang menunjukkan keseluruhannya.
2) Metode
takhrij melalui lafadz awal dari matan hadits, metode ini dipakai apabila
permulaan lafadz hadits-hadits itu dapat diketahui dengan tepat.
3) Metode
takhrij melalui pengetahuan tema hadits, metode ini akan mudah digunakan oleh
orang yang sudah terbiasa dan ahli dalam hadits. Yang di tuntut dalam meode ini
adalah kemampuan menentukan tema atau salah satu tema dari suatu hadits yang
hendak ditakhrijkan. Misalnya hadits mengenai mandi kita cari dalam bab
thaharah, begitu seterusnya. Pada prinsipnya pentakhrij yang menggunakan metode
ini dihadapkan langsung kitab-kitab. Sumber asli, tanpa perantara. Kecuali jika
memakai kitab miftah kunuz al-sunnah, pentakhrij tempat suatu hadits dalam
kitab-kitab sumber.
4) Metode
takhrij melalui pengetahuan tentang sifat khusus atau sanad hadits itu,
maksudnya adalah memperhatikan keadaan-keadaan dan sifat hadits yang baik pada
matan atau sanadnya, kemudian mencari asal-asal hadits-hadits itu dalam
kitab-kitab khusus mengumpulkan hadits-hadits yang mempunyai keadaan atau
sifat-sifat tersebut, baik dalam matan maupun sanadnya. Yang pertama harus
dilakukan adalah memperhatikan keadaan atau sifat yang ada pada matan kemudian
yang ada pada sanad dan selanjutnya yang ada pada kedua-duanya.
2.
Metode
Pemahaman Hadits
Menurut
Bukhari, ada beberapa kecenderungan ulama dalam memahami hadits Nabi, untuk
mendapatkan pelajaran dengan berbagai metode. Maka metode-metode pemahaman
hadits dimaksud dapat diklasifikasikan kepada metode pemahaman hadits
tradisional dan metode pemahaman hadits modernis. Berikut ini akan
dideskripsikan kedua metode tersebut:
1) Metode
pemahaman hadits tradisional yaitu memahami hadits dengan pendekatan
kontekstual historis. Metode ini dapat dipilah kepada metode analitis, metode
global, dan metode komparatif.
a. Metode
analitis, metode pemahaman hadits dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung didalam hadits-hadits yang dipahami serta menerangkan makna yang
tercaakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan pensyarah yang
memahami hadits-hadits tersebut.
b. Metode
global, metode global adalah memahami hadits-hadits secara ringkas tapi mereka
mempresentasikan makna literal hadits, dengan bahasa yang populer, mudah
dimengerti dan enak dibaca.
c. Metode
komparatif, metode komparatif adalah memahami hadits-hadits dengan
membandingkan hadits yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus
yang sama, atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama dan
membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadits. Disini
terlihat bahwa memahami hadits dengan metode ini mempunyai cakupan yang amat
luas, tidak hanya membandingkan hadits dengan hadits, melainkan juga
membandingkan pendapat para pensyarah dalam mensyarah suatu hadits.
Diperoleh gambaran
bahwa dalam dari segi sasaran (objek) bahasan, ada dua aspek yang dikaji dalam
metode komparatif, yaitu perbandingan hadits dengan hadits dan pendapat ulama.
Dalam operasionalisasinya, metode ini dapat dilakukan pada semua hadits baik
pemakaian mufradat, urutan kata maupun kemiripan redaksi jika akan
membandingkan kemiripan redaksi maka langkah-langkahnya sebagai berikut:
a) Mengidentifikasikan
dan menghimpun hadits yang redaksinya bermiripin sehingga diketahui mana yang
mirip dan mana yang tidak.
b) Memperbandingkan
antara hadits yang redaksinya bermiripan itu, yang membicarakan satu atau dua
kasus yang berbeda dalam redaksi yang sama.
c) Mengalisis
perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip, baik mengenai
konotasi hadits maupun redaksinya.
2) Metode
Pemahaman Hadits Modernis
Metode pemahaman hadits modernis
adalah memahami hadits-hadits Rasul dengan pendekatan ilmiah dan logika
deduktif (filosofis). Metode pemahaman hadits modernis ini dapat dipilah untuk
memahami hadits dengan pendekatan ilmiah dan logika deduktif (filosofi). Yang
dimaksud dengan pendekatan ilmiah adalah pemahaman hadits-hadits dengan menilai
istilah-istilah yang terdapat dalam hadits dan mengeksplorasi berbagai ilmu dan
pandangan filosofi yang dikandungnya.
Memahami hadits dengan pendekatan
filosofi adalah memahami hadits-hadits Rasulullah dengan membangun proposisi
berdasarkan logika. Seperti hadits tentang minuman air yang dihinggapi lalat.
Sedangkan pemahaman hadits dengan pendekatan filosofis ialah memahami
hadits-hadits Rasulullah dengan membangun proporsi universal berdasarkan
logika.
Berikutnya, Bukhari juga
mengemukakan metodologis dalam rangka memahami hadits dengan langkah-langkah[15]:
a. Penentuan
tema hadits yang akan dipahami
b. Penghimpunan
hadits-hadits tentang tema yang dipilih
c. Penentuan
orisinalitas hadits yang dijadikan sampel
d. Pemahaman
makna hadits dengan meneliti:
a) Komposisi
tata bahasa hadits dan bentuk pengungkapannya
b) Korelasi
konteks kemunculan hadits secara sosio-historis psikologis
e. Pengambilan
spirit atau pandangan hidup yang terkandung dalam keseluruhan hadits
Ilmu-ilmu muthalahul-hadits,
rijalul-hadits dan lain-lain adalah merupakan bentuk intervensi atau campur
tangan keilmuan para ulama hadits lewat metodologi yang mereka gunakan untuk
menentukan mana yang shahih, hasan dan maqtu’, mursal, dha’if, dan seterusnya.
Hadits-hadits yang menyangkut
persoalan politik, sosial, ekonomi, dan budaya merupakan celah untuk dapat
dilakukan kajian mendalam dan sekaligus perlunya pembaruan penafsiran,
pemahaman, dan pemaknaan terhadap khazanah literatur hadits. Menurut Amin
Abdullah, diperlukan ijtihad atau pemikiran yang keras untuk mencapai
kemungkinan-kemungkinan penafsiran baru yang tetap sesuai dengan ruh dan jiwa
keislaman dengan tetap memberi kemungkinan perluasan dan pengembangan wilayah
pranata sosial budaya, politik dan ekonomi yang sudah ada.
C.
CONTOHNYA
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Rahimahullah berkata “Hadis Ali bahwasanya Al-Abbas meminta kepada
rasulullah tentang mempercepat pembayaran zakat sebelum sampai haulnya, maka
rasulullah memberikan keringan untuknya. Diriwayatkan oleh Ahmad, para penyusun
kitab-kitab sunan, Al-Hakim, dari Ali. Dan diriwayatkan oleh At-Tarmidzi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Aridl,
‘Ali Hasan. 1994. Sejarah, dan Metodologi
Tafsir. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Al-qaththan,
Syaikh Manna’. 2008. Pengantar Studi Ilmu
Hadits. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Hakim,
Rosniati. 2009. Metodologi Studi Islam II.
Padang : Hayfa Press.
Muhaimin.
2007. Kawasan, dan Wawasan Studi Islam.
Jakarta : Kencana.
Nata,
Abuddin. 2011. Metodologi Studi Islam. Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada.
Panjang,
Hasymi Dt. R. 2012. Pembelajaran Qur’an
Hadits 1. Padang : Hayfa Press.
Zain,
Nurhayati. 2005. Pembaharuan Pemikiran
dalam Tafsir. Padang : IAIN IB Press.
[1] Hasymi Dt. R. Panjang, Pembelajaran
Qur’an Hadits 1, (Padang : Hayfa Press, 2012), hal. 138-141
[2] Nurhayati Zain, Pembaharuan
Pemikiran dalam Tafsir, (Padang : IAIN IB Press, 2005), hal. 13
[3] Hasymi Dt. R. Panjang, Pembelajaran
Qur’an Hadits 1, (Padang : Hayfa Press, 2012), hal. 151
[4] Op cit, hal 17-21
[5] Rosniati Hakim, Metodologi Studi
Islam II, (Padang : Hayfa Press, 2009), hal. 59
[6] Ibid, hal. 58
[7] Ibid, hal. 60-61
[8] ‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah
dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994) hal. 86
[9] Rosniati hakim, op cit, hal. 59
[10] Abuddin Nata, Metodologi Studi
Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2011) hal 221
[11] Op cit, hal 79
[12] Hasymi Dt. R. Panjang, Pembelajaran
Qur’an Hadits 1, (Padang : Hayfa Press, 2012), hal.62-64
[13] Rosniati hakim, ibid, hal. 69
[14] Rosniati hakim, ibid, hal. 71
[15] Rosniati hakim, ibid, hal. 79
subhanallah...yaa ukhtiy
BalasHapus